Antara kalkulator dan impian

Mungkin, ini juga terjadi pada pasangan-pasangan suami isteri yang lain. Bisa jadi porsinya berat, bisa juga sepele untuk sebagian orang.
Perbedaan prinsip ekonomi :)
Saya dan suami juga begitu. Tidak ada yang salah, mungkin. Tapi bisa jadi masalah kalau gak dibicarakan dengan kepala dingin.
Suami saya itu pemakai "kalkulator", hitungannya benar realistis, dengan gaji sekian maka sekian juga pengeluaran. Gak mau berharap pada rejeki yang belum ada di tangan. Artinya 1+1=2, ya sudah.
Sementara saya, sang pemimpi :P
Saya sangat sangat percaya pada keajaiban. yang (pastinya) kita sandarkan pada Allah, entah rejeki yang sudah ada atau bahkan yang belum ada bayangannya sekalipun.
Saya kadang "membabi-buta" menancapkan tiang-tiang mimpi dan mengibarkan bendera keyakinan di atasnya.
Harapan membuat hidup menjadi lebih hidup. Begitu saya pikir. Ketimbang memikirkan besok bagaimana, saya cenderung berpikir bagaimana besok aja, Allah sudah mengatur rejeki kita.
Mungkin sebagai kepala keluarga, suami gak mau mem-PHP keluarga dengan menjanjikan sesuatu yang belum pasti. Maka punya keinginan seheboh apapun, suami saya akan keep buat diri sendiri selama belum ada uang di tangan.
nah saya, lebih sreg kalo impian-impian kami diniatkan, di hati maupun di lisan, ada ataupun tiada (lebih tepatnya belum ada) kemampuan secara finansial untuk mewujudkan. yaaach hitung-hitung sebagai pendongkrak semangat supaya makin rajin nyari uang. siip kan?
Masalah muncul saat saya terlalu ber-cemungud dengan rencana-rencana yang diniatkan, dan suami merasa itu sebagai "hutang" yang akan dimintai pertanggung-jawabannya. repot kan kalo pas gak konek gitu? hehe...
ya udah, tinggal gimana cara berkomunikasi aja itu sih. benar/salah, kembali kepada NIAT. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alhamdulillah Positiv

IUFD (Intra Uterine Fetal Death) di usia kehamilan 20-21 minggu

What Are You Going To Do? (Read: wathcugonnadu?) 😄